Pemberitaan Injil Dan Kebudayaan
Pemberitaan
Injil dan kebudayaan ~ Harus disadari bahwa pemberitaan Injil selalu
berhubungan dengan budaya. Artinya pemberitaan selalu dilakukan di dalam dan
melalui budaya. “Perkembangan
strategi untuk penginjilan dunia menuntut visi dan metode-metode baru”.
Di bawah bimbingan Allah, akan timbul
gereja-gereja yang berakar di dalam Kristus dan erat berhubungan dengan
kebudayaannya. Kebudayaan memiliki keindahan dan kebaikan. Namun karena manusia
telah jatuh dalam dosa, maka seluruh kebudayaannya dinodai oleh dosa dan
sebagian lagi dikuasai roh jahat.
Injil tidak menganggap kebudayaan yang
satu lebih unggul daripada yang lain, tetapi Injil menilai semua kebudayaan
menurut ukuran kebenaran dan keadilannya sendiri, dan menuntut moral yang
tinggi dalam setiap kebudayaan.
Badan-badan pekabaran Injil terlalu
sering memasukkan kebudayaan asing bersama dengan Injil, dan gereja-gereja
kadang kala lebih terikat pada kebudayaan daripada Alkitab.
Penginjil-penginjil Kristus harus
dengan rendah hati mengosongkan dirinya dari segala sesuatu, kecuali keaslian
kepribadiannya, untuk menjadi pelayan bagi orang lain, dan gereja- gereja harus
berusaha mengubah dan memperkaya kebudayaan, dan semuanya itu dilakukan demi
kemuliaan Allah." (Kejadian 4:21-22; Markus 7:8-9,13; 1Korintus 4:5,
9:19-23; Filipi 2:5-7).
Ikrar ini sedikitnya memaparkan tiga
pokok yang terpenting tentang teologi kebudayaan:
Kebudayaan
memiliki dimensi ilahi dan dimensi setan.
Tidak ada suatu kebudayaan yang lebih
unggul daripada kebudayaan yang lain.
Kita harus mengabarkan Injil yang
murni, tanpa tambahan apa pun.
Satu, bahwa kebudayaan memiliki
dua dimensi. Keanekaragaman kebudayaan manusia memiliki unsur-unsur positif dan
negatif, unsur-unsur ilahi dan setani. Kebudayaan manusia penuh dengan
keindahan dan kebaikan, sekaligus dinodai dosa dan dikuasai Iblis.
Dua, bahwa tidak ada “kebudayaan yang lebih
unggul daripada yang lain”.
Sadar atau tidak, pada umumnya, para penginjil cenderung menganggap bahwa
kebudayaan mereka lebih baik daripada kebudayaan para penerima. Tetapi menurut
firman Allah, kita tidak boleh bermegah tentang adat kita sendiri. Kita hanya
boleh bermegah tentang Yesus, Pencipta dan Hakim adat kita!
Tiga, bahwa kita harus
mengabarkan Injil yang murni, tanpa tambahan apa pun. "Badan-badan
pekabaran Injil terlalu sering memasukkan kebudayaan asing ke dalam Injil dan
gereja-gereja kadang kala lebih terikat pada kebudayaan daripada Alkitab."
Kita harus memberitakan Injil semata tanpa tambahan tata ibadah tertentu atau
kebudayaan yang berasal dari si pemberita Injil.
Dr. Harvie Conn, ahli misiologi dari
Westminster Theological Seminary, menggambarkan proses ini sebagai berikut.
Menurutnya kontekstualisasi adalah "seni menabur benih Injil dalam
beraneka ragam kebudayaan tanpa membawa potnya" (Conn, 1982:12). Dalam
definisi ini, "pot" yang biasanya dibawa si penginjil itu
melambangkan kebudayaan, adat, dan tradisinya.
Pokok ketiga ini juga sesuai dengan
pendapat Pdt. Dr. P. Octavianus. Ia menyatakan rintangan kebudayaan merupakan
penghalang utama bagi penginjilan. Itulah sebabnya, kita harus membawa Injil
itu kepada orang yang belum percaya tanpa perlu menambah-nambahi dengan “syarat-syarat atau
cara-cara kekristenan yang terikat kepada si utusan Injil” (Octavianus, 1985:35,54).
Kita harus ingat bahwa persoalan
"sinkretisme" tidak hanya terjadi kalau kita menyesuaikan diri
terlalu banyak sehingga arti Injil menjadi kabur, tetapi juga bila Injil
disampaikan bersama dengan kebudayaan si penginjil sehingga dianggap asing oleh
para pendengarnya.
Hal seperti ini pun dapat menimbulkan
masalah “sinkretisme” sebab dalam pemikiran para
pendengarnya Injil telah dicampur dengan unsur-unsur asing (dari penginjil)
sehingga mengaburkan makna dari Injil itu sendiri.
Post a Comment for "Pemberitaan Injil Dan Kebudayaan"